Jumat, 08 Juni 2012

Ngopi dan Minum Obat

 "Benarkah kalau habis minum obat, kita tidak boleh minum kopi? Mengapa? Kira-kira berapa lama setelah minum obat, saya baru boleh minum kopi?"

Menurut dr Alyya Siddiqa, SpFK, dokter spesialis farmakologi klinik dan dosen di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, kafein yang terdapat di kopi dapat berinteraksi dengan beberapa jenis obat. Karena sifatnya menstimulasi otak dan jantung, obat-obatan yang memengaruhi kedua organ itu akan berinteraksi dengan kafein. Contohnya efedrin dan fenilpropanolamin (terkandung dalam obat flu atau obat untuk mengatasi gejala hidung tersumbat) yang mempunyai efek meningkatkan kerja jantung. Atau obat asma teofilin yang sifatnya mirip kafein, obat antidepresi dan antipsikotik, antibiotik golongan kuinolon, dan pil KB.
Bila kita minum salah satu obat tersebut dilanjutkan dengan menyeruput kopi, maka kadar kafein menjadi kelewat tinggi dalam darah. Hal ini jelas tidak menguntungkan bagi jantung. Asal tahu saja, semua obat yang diminum masuk ke lambung untuk dihancurkan, lalu ke usus halus dan diserap menuju pembuluh darah. Banyak obat yang penyerapannya terganggu bila dikonsumsi dengan makanan atau minuman. Walaupun khasiatnya tidak hilang, obat jadi lebih lama diserap.
Minum obat sebaiknya dengan air putih. Tidak disarankan minum obat dengan kopi, teh, jus, susu, dan minuman ringan (bersoda). Beri jarak 2-3 jam setelah minum obat, baru minum kopi.

sumber :  http://female.kompas.com

Selasa, 05 Juni 2012

♥ ♥ ♥ Aku Bangga Pada Suamiku ♥ ♥ ♥


Bismillah..

Semoga bisa diambil manfaatnya oleh saudari-saudari muslimahku

Sore itu,, menunggu kedatangan teman yang akan menjemputku di masjid ini seusai ashar.. seorang akhwat datang, tersenyum dan duduk disampingku, mengucapkan salam, sambil berkenalan dan sampai pula pada pertanyaan itu. “anty sudah menikah?”. “Belum mbak”, jawabku. Kemudian akhwat itu bertanya lagi “kenapa?” hanya bisa ku jawab dengan senyuman.. ingin ku jawab karena masih kuliah, tapi rasanya itu bukan alasan.
“Mbak menunggu siapa?” aku mencoba bertanya. “nunggu suami” jawabnya. Aku melihat kesamping kirinya, sebuah tas laptop dan sebuah tas besar lagi yang tak bisa kutebak apa isinya. Dalam hati bertanya-tanya, dari mana mbak ini? Sepertinya wanita karir. Akhirnya kuberanikan juga untuk bertanya
“Mbak kerja di mana?”, entahlah keyakinan apa yang meyakiniku bahwa mbak ini seorang pekerja, padahal setahu ku, akhwat-akhwat seperti ini kebanyakan hanya mengabdi sebagai ibu rumah tangga.
“Alhamdulillah 2 jam yang lalu saya resmi tidak bekerja lagi” , jawabnya dengan wajah yang aneh menurutku, wajah yang bersinar dengan ketulusan hati.
“Kenapa?” tanyaku lagi.
Dia hanya tersenyum dan menjawab “karena inilah cara satu cara yang bisa membuat saya lebih hormat pada suami” jawabnya tegas.
Aku berfikir sejenak, apa hubungannya? Heran. Lagi-lagi dia hanya tersenyum.
Ukhty, boleh saya cerita sedikit? Dan saya berharap ini bisa menjadi pelajaran berharga buat kita para wanita yang Insya Allah akan didatangi oleh ikhwan yang sangat mencintai akhirat.
“Saya bekerja di kantor, mungkin tak perlu saya sebutkan nama kantornya. Gaji saya 7juta/bulan. Suami saya bekerja sebagai penjual roti bakar di pagi hari, es cendol di siang hari. Kami menikah baru 3 bulan, dan kemarinlah untuk pertama kalinya saya menangis karena merasa durhaka padanya.
Waktu itu jam 7 malam, suami baru menjemput saya dari kantor, hari ini lembur, biasanya sore jam 3 sudah pulang. Saya capek sekali ukhty. Saat itu juga suami masuk angin dan kepalanya pusing. Dan parahnya saya juga lagi pusing . Suami minta diambilkan air minum, tapi saya malah berkata, “abi, umi pusing nih, ambil sendiri lah”.
Pusing membuat saya tertidur hingga lupa sholat isya. Jam 23.30 saya terbangun dan cepat-cepat sholat, Alhamdulillah pusing pun telah hilang. Beranjak dari sajadah, saya melihat suami saya tidur dengan pulasnya. Menuju ke dapur, saya liat semua piring sudah bersih tercuci. Siapa lagi yang bukan mencucinya kalo bukan suami saya? Terlihat lagi semua baju kotor telah di cuci. Astagfirullah, kenapa abi mengerjakan semua ini? Bukankah abi juga pusing tadi malam? Saya segera masuk lagi ke kamar, berharap abi sadar dan mau menjelaskannya, tapi rasanya abi terlalu lelah, hingga tak sadar juga. Rasa iba mulai memenuhi jiwa saya, saya pegang wajah suami saya itu, ya Allah panas sekali pipinya, keningnya, Masya Allah, abi demam, tinggi sekali panasnya. Saya teringat atas perkataan terakhir saya pada suami tadi. Hanya disuruh mengambilkan air minum saja, saya membantahnya. Air mata ini menetes, betapa selama ini saya terlalu sibuk di luar rumah, tidak memperhatikan hak suami saya.”
Subhanallah, aku melihat mbak ini cerita dengan semangatnya, membuat hati ini merinding. Dan kulihat juga ada tetesan air mata yang di usapnya.
“Anty tau berapa gaji suami saya? Sangat berbeda jauh dengan gaji saya. Sekitar 600-700rb/bulan. 10x lipat dari gaji saya. Dan malam itu saya benar-benar merasa durhaka pada suami saya. Dengan gaji yang saya miliki, saya merasa tak perlu meminta nafkah pada suami, meskipun suami selalu memberikan hasil jualannya itu pada saya, dan setiap kali memberikan hasil jualannya , ia selalu berkata “umi,,ini ada titipan rezeki dari Allah. Di ambil ya. Buat keperluan kita. Dan tidak banyak jumlahnya, mudah-mudahan umi ridho”, begitu katanya. Kenapa baru sekarang saya merasakan dalamnya kata-kata itu. Betapa harta ini membuat saya sombong pada nafkah yang diberikan suami saya”, lanjutnya
“Alhamdulillah saya sekarang memutuskan untuk berhenti bekerja, mudah-mudahan dengan jalan ini, saya lebih bisa menghargai nafkah yang diberikan suami. Wanita itu begitu susah menjaga harta, dan karena harta juga wanita sering lupa kodratnya, dan gampang menyepelekan suami.” Lanjutnya lagi, tak memberikan kesempatan bagiku untuk berbicara.
“Beberapa hari yang lalu, saya berkunjung ke rumah orang tua, dan menceritakan niat saya ini. Saya sedih, karena orang tua, dan saudara-saudara saya tidak ada yang mendukung niat saya untuk berhenti berkerja . Malah mereka membanding-bandingkan pekerjaan suami saya dengan orang lain.”
Aku masih terdiam, bisu, mendengar keluh kesahnya. Subhanallah, apa aku bisa seperti dia? Menerima sosok pangeran apa adanya, bahkan rela meninggalkan pekerjaan.
“Kak, kita itu harus memikirkan masa depan. Kita kerja juga untuk anak-anak kita kak. Biaya hidup sekarang ini besar. Begitu banyak orang yang butuh pekerjaan. Nah kakak malah pengen berhenti kerja. Suami kakak pun penghasilannya kurang. Mending kalo suami kakak pengusaha kaya, bolehlah kita santai-santai aja di rumah. Salah kakak juga sih, kalo mau jadi ibu rumah tangga, seharusnya nikah sama yang kaya. Sama dokter muda itu yang berniat melamar kakak duluan sebelum sama yang ini. Tapi kakak lebih milih nikah sama orang yang belum jelas pekerjaannya. Dari 4 orang anak bapak, Cuma suami kakak yang tidak punya penghasilan tetap dan yang paling buat kami kesal, sepertinya suami kakak itu lebih suka hidup seperti ini, ditawarin kerja di bank oleh saudara sendiri yang ingin membantupun tak mau, sampai heran aku, apa maunya suami kakak itu”. Ceritanya kembali, menceritakan ucapan adik perempuannya saat dimintai pendapat.
“anty tau, saya hanya bisa nangis saat itu. Saya menangis bukan Karena apa yang dikatakan adik saya itu benar, bukan karena itu. Tapi saya menangis karena imam saya dipandang rendah olehnya. Bagaimana mungkin dia maremehkan setiap tetes keringat suami saya, padahal dengan tetesan keringat itu, Allah memandangnya mulia. Bagaimana mungkin dia menghina orang yang senantiasa membanguni saya untuk sujud dimalam hari. Bagaimana mungkin dia menghina orang yang dengan kata-kata lembutnya selalu menenangkan hati saya. Bagaimana mungkin dia menghina orang yang berani datang pada orang tua saya untuk melamar saya, padahal saat itu orang tersebut belum mempunyai pekerjaan. Bagaimana mungkin seseorang yang begitu saya muliakan, ternyata begitu rendah di hadapannya hanya karena sebuah pekerjaaan. Saya memutuskan berhenti bekerja, karena tak ingin melihat orang membanding-bandingkan gaji saya dengan gaji suami saya. Saya memutuskan berhenti bekerja juga untuk menghargai nafkah yang diberikan suami saya. Saya juga memutuskan berhenti bekerja untuk memenuhi hak-hak suami saya. Semoga saya tak lagi membantah perintah suami. Semoga saya juga ridho atas besarnya nafkah itu. Saya bangga ukhti dengan pekerjaan suami saya, sangat bangga, bahkan begitu menghormati pekerjaannya, karena tak semua orang punya keberanian dengan pekerjaan itu. Kebanyakan orang lebih memilih jadi pengangguran dari pada melakukan pekerjaan yang seperti itu. Tapi lihatlah suami saya, tak ada rasa malu baginya untuk menafkahi istri dengan nafkah yang halal. Itulah yang membuat saya begitu bangga pada suami saya. Semoga jika anty mendapatkan suami seperti saya, anty tak perlu malu untuk menceritakannya pekerjaan suami anty pada orang lain. Bukan masalah pekerjaannya ukhty, tapi masalah halalnya, berkahnya, dan kita memohon pada Allah, semoga Allah menjauhkan suami kita dari rizki yang haram”. Ucapnya terakhir, sambil tersenyum manis padaku. Mengambil tas laptopnya, bergegas ingin meninggalkannku. Kulihat dari kejauhan seorang ikhwan dengan menggunakan sepeda motor butut mendekat ke arah kami, wajahnya ditutupi kaca helm, meskipun tak ada niatku menatap mukanya. Sambil mengucapkan salam, meninggalkannku. Wajah itu tenang sekali, wajah seorang istri yang begitu ridho.
Ya Allah….
Sekarang giliran aku yang menangis. Hari ini aku dapat pelajaran paling baik dalam hidupku.
Pelajaran yang membuatku menghapus sosok pangeran kaya yang ada dalam benakku..
Subhanallah..
Semoga pekerjaan, harta tak pernah menghalangimu untuk tidak menerima pinangan dari laki-laki yang baik agamanya.

oleh Fitri Kurnia Handayani

Sumber: http://bloghidayah.wordpress.com/2011/02/19/sebuah-renungan-bagi-kaum-wanita/

Minggu, 13 Mei 2012

Kisah Cinta Seorang Suami

Aku membencinya, Itulah yang selalu kubisikkan dalam hatiku hampir sepanjang kebersamaan kami. Meskipun menikahinya, Aku tak pernah benar-benar menyerahkan hatiku padanya. Menikah karena paksaan orangtua, Membuatku membenci suamiku sendiri. Walaupun menikah terpaksa, Aku tak pernah menunjukkan sikap benciku. Meskipun membencinya, Setiap hari aku melayaninya sebagaimana tugas istri. Aku terpaksa melakukan semuanya karena aku tak punya pegangan lain. Beberapa kali muncul keinginan meninggalkannya tapi aku tak punya kemampuan finansial dan dukungan siapapun. Kedua orangtuaku sangat menyayangi suamiku karena menurut mereka, Suamiku adalah sosok suami sempurna untuk putri satu-satunya mereka. Ketika menikah, Aku menjadi istri yang teramat manja. Kulakukan segala hal sesuka hatiku. Suamiku juga memanjakanku sedemikian rupa. Aku tak pernah benar-benar menjalani tugasku sebagai seorang istri. Aku selalu bergantung padanya karena aku menganggap hal itu sudah seharusnya setelah apa yang ia lakukan padaku. Aku telah menyerahkan hidupku padanya sehingga tugasnyalah membuatku bahagia dengan menuruti semua keinginanku.

Di rumah kami, Akulah ratunya. Tak ada seorangpun yang berani melawan. Jika ada sedikit saja masalah, Aku selalu menyalahkan suamiku. Aku tak suka handuknya yang basah yang diletakkan di tempat tidur, Aku sebal melihat ia meletakkan sendok sisa mengaduk susu di atas meja dan meninggalkan bekas lengket, Aku benci ketika ia memakai komputerku meskipun hanya untuk menyelesaikan pekerjaannya. Aku marah kalau ia menggantung bajunya di kapstock bajuku, Aku juga marah kalau ia memakai pasta gigi tanpa memencetnya dengan rapi, Aku marah kalau ia menghubungiku hingga berkali-kali ketika aku sedang bersenang-senang dengan teman-temanku.

Tadinya aku memilih untuk tidak punya anak. Meskipun tidak bekerja, Tapi aku tak mau mengurus anak. Awalnya dia mendukung dan akupun ber-KB dengan pil. Tapi rupanya ia menyembunyikan keinginannya begitu dalam sampai suatu hari aku lupa minum pil KB dan meskipun ia tahu ia membiarkannya. Akupun hamil dan baru menyadarinya setelah lebih dari empat bulan, Dokterpun menolak menggugurkannya.

Itulah kemarahanku terbesar padanya. Kemarahan semakin bertambah ketika aku mengandung sepasang anak kembar dan harus mengalami kelahiran yang sulit. Aku memaksanya melakukan tindakan vasektomi agar aku tidak hamil lagi. Dengan patuh ia melakukan semua keinginanku karena aku mengancam akan meninggalkannya bersama kedua anak kami. Waktu berlalu hingga anak-anak tak terasa berulang tahun yang ke-delapan. Seperti pagi-pagi sebelumnya, Aku bangun paling akhir. Suami dan anak-anak sudah menungguku di meja makan. Seperti biasa, Dialah yang menyediakan sarapan pagi dan mengantar anak-anak ke sekolah. Hari itu, Ia mengingatkan kalau hari itu ada peringatan ulang tahun ibuku. Aku hanya menjawab dengan anggukan tanpa mempedulikan kata-katanya yang mengingatkan peristiwa tahun
sebelumnya, Saat itu aku memilih ke mal dan tidak hadir di acara ibu.

Yaah, Karena merasa terjebak dengan perkimpoianku, Aku juga membenci kedua orangtuaku. Sebelum ke kantor, Biasanya suamiku mencium pipiku saja dan diikuti anak-anak. Tetapi hari itu, Ia juga memelukku sehingga anak-anak menggoda ayahnya dengan ribut. Aku berusaha mengelak dan melepaskan pelukannya. Meskipun akhirnya ikut tersenyum bersama anak-anak. Ia kembali mencium hingga beberapa kali di depan pintu Seakan-akan berat untuk pergi.

Ketika mereka pergi, Akupun memutuskan untuk ke salon. Menghabiskan waktu ke salon adalah hobiku. Aku tiba di salon langgananku beberapa jam kemudian. Di salon aku bertemu salah satu temanku sekaligus orang yang tidak kusukai. Kami mengobrol dengan asyik termasuk saling memamerkan kegiatan kami. Tiba waktunya aku harus membayar tagihan salon. Namun betapa terkejutnya aku, Ketika menyadari bahwa dompetku tertinggal di rumah. Meskipun merogoh tasku hingga bagian terdalam aku tak menemukannya di dalam tas. Sambil berusaha mengingat-ingat apa yang terjadi hingga dompetku tak bisa kutemukan. Aku menelepon suamiku dan bertanya,
“Maaf sayang, Kemarin Farhan meminta uang jajan dan aku tak punya uang kecil maka kuambil dari dompetmu. Aku lupa menaruhnya kembali ke tasmu, Kalau tidak salah aku letakkan di atas meja kerjaku.”
Katanya menjelaskan dengan lembut. Dengan marah, Aku mengomelinya dengan kasar. Kututup telepon tanpa
menunggunya selesai bicara.

Tak lama kemudian, Handphoneku kembali berbunyi dan meski masih kesal, Akupun mengangkatnya dengan setengah membentak. “Apalagi??”
“Sayang, Aku pulang sekarang, Aku akan ambil dompet dan mengantarnya padamu. Sayang sekarang ada dimana?” tanya suamiku cepat , Kuatir Aku menutup telepon kembali.
Aku menyebut nama salonku dan tanpa menunggu jawabannya lagi, Aku kembali menutup telepon. Aku berbicara dengan kasir dan mengatakan bahwa suamiku akan datang membayarkan tagihanku. Si empunya Salon yang sahabatku sebenarnya sudah membolehkanku pergi dan mengatakan aku bisa membayarnya nanti kalau aku kembali lagi.

Tapi rasa malu karena “musuh”ku juga ikut mendengarku ketinggalan dompet membuatku gengsi untuk berhutang dulu. Hujan turun ketika aku melihat keluar dan berharap mobil suamiku segera sampai. Menit berlalu menjadi jam, Aku semakin tidak sabar sehingga mulai menghubungi handphone suamiku. Tak ada jawaban meskipun sudah berkali-kali kutelepon. Padahal biasanya hanya dua kali berdering teleponku sudah diangkatnya. Aku mulai merasa tidak enak dan marah. Teleponku diangkat setelah beberapa kali mencoba. Ketika suara bentakanku belum lagi keluar, Terdengar suara asing
menjawab telepon suamiku. Aku terdiam beberapa saat sebelum suara lelaki asing itu memperkenalkan diri,
“Selamat siang, ibu. Apakah ibu istri dari bapak armandi?”
Kujawab pertanyaan itu segera. Lelaki asing itu ternyata seorang polisi, Ia memberitahu bahwa suamiku mengalami kecelakaan dan saat ini ia sedang dibawa ke rumah sakit kepolisian.

Saat itu aku hanya terdiam dan hanya menjawab terima kasih. Ketika telepon ditutup, aku berjongkok dengan bingung. Tanganku menggenggam erat handphone yang kupegang dan beberapa pegawai salon mendekatiku dengan sigap bertanya ada apa hingga wajahku menjadi pucat seputih kertas. Entah bagaimana akhirnya aku sampai di rumah sakit. Entah bagaimana juga tahu-tahu seluruh keluarga hadir di sana menyusulku. Aku yang hanya diam seribu bahasa menunggu suamiku di depan ruang gawat darurat. Aku tak tahu harus melakukan apa karena selama ini dialah yang melakukan segalanya untukku. Ketika akhirnya setelah menunggu beberapa jam, tepat ketika kumandang adzan maghrib terdengar seorang dokter keluar dan menyampaikan berita itu. Suamiku telah tiada. Ia pergi bukan karena kecelakaan itu sendiri, Serangan stroke-lah yang menyebabkan kematiannya.

Selesai mendengar kenyataan itu, Aku malah sibuk menguatkan kedua orangtuaku dan orangtuanya yang shock. Sama sekali tak ada airmata setetespun keluar di kedua mataku. Aku sibuk menenangkan ayah ibu dan mertuaku. Anak-anak yang terpukul memelukku dengan erat tetapi kesedihan mereka sama sekali tak mampu membuatku menangis. Ketika jenazah dibawa ke rumah dan aku duduk di hadapannya, Aku termangu menatap wajah itu. Kusadari baru kali inilah aku benar-benar menatap wajahnya yang tampak tertidur pulas. Kudekati wajahnya dan kupandangi dengan seksama. Saat itulah dadaku menjadi sesak teringat apa yang telah ia berikan padaku selama sepuluh tahun kebersamaan kami. Kusentuh perlahan wajahnya yang telah dingin dan kusadari inilah kali pertama kali aku menyentuh wajahnya yang dulu selalu dihiasi senyum hangat.

Airmata merebak dimataku, Mengaburkan pandanganku. Aku terkesiap berusaha mengusap agar airmata tak menghalangi tatapan terakhirku padanya, Aku ingin mengingat semua bagian wajahnya agar kenangan manis tentang suamiku tak berakhir begitu saja. Tapi bukannya berhenti, Airmataku semakin deras membanjiri kedua pipiku. Peringatan dari imam masjid yang mengatur prosesi pemakaman tidak mampu membuatku berhenti menangis. Aku berusaha menahannya, Tapi dadaku sesak mengingat apa yang telah kuperbuat padanya terakhir kali kami berbicara.

Aku teringat betapa aku tak pernah memperhatikan kesehatannya. Aku hampir tak pernah mengatur makannya. Padahal ia selalu mengatur apa yang kumakan. Ia memperhatikan vitamin dan obat yang harus kukonsumsi terutama ketika mengandung dan setelah melahirkan. Ia tak pernah absen mengingatkanku makan teratur, bahkan terkadang menyuapiku kalau aku sedang malas makan. Aku tak pernah tahu apa yang ia makan karena aku tak pernah bertanya. Bahkan aku tak tahu apa yang ia sukai dan tidak disukai. Hampir seluruh keluarga tahu bahwa suamiku adalah penggemar mie instant dan kopi kental. Dadaku sesak mendengarnya, Karena aku tahu ia mungkin terpaksa makan mie instant karena aku hampir tak pernah memasak untuknya. Aku hanya memasak untuk anak-anak dan diriku sendiri. Aku tak perduli dia sudah makan atau belum ketika pulang kerja. Ia bisa makan masakanku hanya kalau bersisa. Ia pun pulang larut malam setiap hari karena dari kantor cukup jauh dari rumah. Aku tak pernah mau menanggapi permintaannya untuk pindah lebih dekat ke kantornya karena tak mau jauh-jauh dari tempat tinggal teman-temanku.

Saat pemakaman, Aku tak mampu menahan diri lagi. Aku pingsan ketika melihat tubuhnya hilang bersamaan onggokan tanah yang menimbun. Aku tak tahu apapun sampai terbangun di tempat tidur besarku. Aku terbangun dengan rasa sesal memenuhi rongga dadaku. Keluarga besarku membujukku dengan sia-sia karena mereka tak pernah tahu mengapa aku begitu terluka kehilangan dirinya. Hari-hari yang kujalani setelah kepergiannya bukanlah kebebasan seperti yang selama ini kuinginkan tetapi aku malah terjebak di dalam keinginan untuk bersamanya.

Di hari-hari awal kepergiannya, Aku duduk termangu memandangi piring kosong. Ayah, Ibu dan ibu mertuaku membujukku makan. Tetapi yang kuingat hanyalah saat suamiku membujukku makan kalau aku sedang mengambek dulu. Ketika aku lupa membawa handuk saat mandi, aku berteriak memanggilnya seperti biasa dan ketika malah ibuku yang datang, Aku berjongkok menangis di dalam kamar mandi berharap ia yang datang. Kebiasaanku yang meneleponnya setiap kali aku tidak bisa melakukan sesuatu di
rumah, Membuat teman kerjanya kebingungan menjawab teleponku.
Setiap malam aku menunggunya di kamar tidur dan berharap esok pagi aku terbangun dengan sosoknya di sebelahku. Dulu aku begitu kesal kalau tidur mendengar suara dengkurannya, Tapi sekarang aku bahkan sering terbangun karena rindu mendengarnya kembali. Dulu aku kesal karena ia sering berantakan di kamar tidur kami, Tetapi
kini aku merasa kamar tidur kami terasa kosong dan hampa. Dulu aku begitu kesal jika ia melakukan pekerjaan dan meninggalkannya di laptopku tanpa me-log out, Sekarang aku memandangi komputer, Mengusap tuts-tutsnya berharap bekas jari-jarinya masih
tertinggal di sana. Dulu aku paling tidak suka ia membuat kopi tanpa alas piring di meja, Sekarang bekasnya yang tersisa di sarapan pagi terakhirnyapun tidak mau kuhapus. Remote televisi yang biasa disembunyikannya, Sekarang dengan mudah kutemukan meski aku berharap bisa mengganti kehilangannya dengan kehilangan remote.

Semua kebodohan itu kulakukan karena aku baru menyadari bahwa dia mencintaiku dan aku sudah terkena panah cintanya. Aku juga marah pada diriku sendiri, Aku marah karena semua kelihatan normal meskipun ia sudah tidak ada. Aku marah karena baju-bajunya masih di sana meninggalkan baunya yang membuatku rindu. Aku marah karena tak bisa menghentikan semua penyesalanku. Aku marah karena tak ada lagi yang membujukku agar tenang, Tak ada lagi yang mengingatkanku sholat meskipun kini kulakukan dengan ikhlas. Aku sholat karena aku ingin meminta maaf, Meminta maaf pada Allah karena menyia-nyiakan suami yang dianugerahi padaku, Meminta ampun karena telah menjadi istri yang tidak baik pada suami yang begitu sempurna. Sholatlah yang mampu menghapus dukaku sedikit demi sedikit. Cinta Allah padaku ditunjukkannya dengan begitu banyak perhatian dari keluarga untukku dan anak-anak. Teman-temanku yang selama ini kubela-belakan, Hampir tak pernah menunjukkan batang hidung mereka setelah kepergian suamiku.

Empat puluh hari setelah kematiannya, Keluarga mengingatkanku untuk bangkit dari keterpurukan. Ada dua anak yang menungguku dan harus kuhidupi. Kembali rasa bingung merasukiku. Selama ini aku tahu beres dan tak pernah bekerja. Semua dilakukan suamiku. Berapa besar pendapatannya selama ini aku tak pernah peduli, yang kupedulikan hanya jumlah rupiah yang ia transfer ke rekeningku untuk kupakai untuk keperluan pribadi dan setiap bulan uang itu hampir tak pernah bersisa. Dari kantor tempatnya bekerja, Aku memperoleh gaji terakhir beserta kompensasi bonusnya. Ketika melihatnya aku terdiam tak menyangka, Ternyata seluruh gajinya ditransfer ke rekeningku selama ini. Padahal aku tak pernah sedikitpun menggunakan untuk keperluan rumah tangga. Entah darimana ia memperoleh uang lain untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga karena aku tak pernah bertanya sekalipun soal itu.Yang aku tahu sekarang aku harus bekerja atau anak-anakku takkan bisa hidup karena jumlah gaji terakhir dan kompensasi bonusnya takkan cukup untuk menghidupi kami bertiga. Tapi bekerja di mana ? Aku hampir tak pernah punya pengalaman sama sekali. Semuanya selalu diatur oleh dia.

Kebingunganku terjawab beberapa waktu kemudian. Ayahku datang bersama seorang notaris. Ia membawa banyak sekali dokumen. Lalu notaris memberikan sebuah surat. Surat pernyataan suami bahwa ia mewariskan seluruh kekayaannya padaku dan anak-anak, Ia menyertai ibunya dalam surat tersebut tapi yang membuatku tak mampu berkata apapun adalah isi suratnya untukku.

Istriku Liliana tersayang, Maaf karena harus meninggalkanmu terlebih dahulu. Maaf karena harus membuatmu bertanggung jawab mengurus segalanya sendiri. Maaf karena aku tak bisa memberimu cinta dan kasih sayang lagi. Allah memberiku waktu yang terlalu singkat karena mencintaimu dan anak-anak adalah hal terbaik yang pernah kulakukan untukmu. Seandainya aku bisa, Aku ingin mendampingi sayang selamanya. Tetapi aku tak mau kalian kehilangan kasih sayangku begitu saja. Selama ini aku telah menabung sedikit demi sedikit untuk kehidupan kalian nanti. Aku tak ingin sayang susah setelah aku pergi. Tak banyak yang bisa kuberikan tetapi aku berharap sayang bisa memanfaatkannya untuk membesarkan dan mendidik anak-anak. Lakukan yang terbaik untuk mereka, Ya sayang. Jangan menangis, Sayangku yang manja. Lakukan banyak hal untuk membuat hidupmu yang terbuang percuma selama ini. Aku memberi kebebasan padamu untuk mewujudkan mimpi-mimpi yang tak sempat kau lakukan selama ini. Maafkan kalau aku menyusahkanmu dan semoga Tuhan memberimu jodoh yang lebih baik dariku.

Teruntuk Farah, Putri tercintaku. Maafkan karena ayah tak bisa mendampingimu. Jadilah istri yang baik seperti Ibu.
Dan Farhan, Ksatria pelindungku. Jagalah Ibu dan Farah. Jangan jadi anak yang bandel lagi dan selalu ingat dimanapun kalian berada, ayah akan disana melihatnya. Oke!

Aku terisak membaca surat itu, Ada gambar kartun dengan kacamata yang diberi lidah menjulur khas suamiku kalau ia mengirimkan note. Notaris memberitahu bahwa selama ini suamiku memiliki beberapa asuransi dan tabungan deposito dari hasil warisan ayah kandungnya. Suamiku membuat beberapa usaha dari hasil deposito tabungan tersebut dan usaha tersebut cukup berhasil meskipun dimanajerin oleh orang-orang kepercayaannya. Aku hanya bisa menangis terharu mengetahui betapa besar cintanya pada kami, Sehingga ketika ajal menjemputnya ia tetap membanjiri kami dengan cinta. Aku tak pernah berpikir untuk menikah lagi. Banyaknya lelaki yang hadir tak mampu menghapus sosoknya yang masih begitu hidup di dalam hatiku. Hari demi hari hanya kuabdikan untuk anak- anakku. Ketika orangtuaku dan mertuaku pergi satu persatu meninggalkanku selaman-lamanya, Tak satupun meninggalkan kesedihan sedalam kesedihanku saat suamiku pergi.

Kini kedua putra putriku berusia duapuluh tiga tahun. Dua hari lagi putriku menikah dengan seorang pemuda dari tanah seberang. Putri kami bertanya,
“Ibu, aku harus bagaimana nanti setelah menjadi istri, soalnya Farah kan ga bisa masak, ga bisa nyuci, gimana ya bu?”
Aku merangkulnya sambil berkata,
“Cinta sayang, cintailah suamimu, Cintailah pilihan hatimu, Cintailah apa yang ia miliki dan kau akan mendapatkan segalanya. Karena cinta, Kau akan belajar menyenangkan hatinya, Akan belajar menerima kekurangannya, Akan belajar bahwa sebesar apapun persoalan, Kalian akan menyelesaikannya atas nama cinta.”
Putriku menatapku,
“Aeperti cinta ibu untuk ayah ? Cinta itukah yang membuat ibu tetap setia pada ayah sampai sekarang?”
Aku menggeleng,
“Bukan, sayangku. Cintailah suamimu seperti ayah mencintai ibu dulu, Seperti ayah mencintai kalian berdua. Ibu setia pada ayah karena cinta ayah yang begitu besar pada ibu dan kalian berdua.”

Aku mungkin tak beruntung karena tak sempat menunjukkan cintaku pada suamiku. Aku menghabiskan sepuluh tahun untuk membencinya, Tetapi menghabiskan hampir sepanjang sisa hidupku untuk mencintainya. Aku bebas darinya karena kematian, Tapi aku tak pernah bisa bebas dari cintanya yang begitu tulus.

(sumber : http://tourworldinfo.blogspot.com)

Rabu, 02 Mei 2012

Adikku tersayang

Tidak seperti biasanya, pagi ini Rara datang ke sekolah dengan wajah cemberut. Tidak ada senyum sama sekali. Shasa yang duduk di sebelah Rara sampai bingung. Mau menegur, Shasa takut Rara sedang tidak ingin ditegur. Mau mendiamkan, hmmm… kok sepertinya tidak enak ya diam-diaman.
“Kamu bawa bekal apa hari ini?” tanya Shasa ketika bel tanda istirahat berbunyi.
“Aku gak bawa bekal. Rina tadi pagi rewel jadi ibu tidak sempat menyiapkan bekal untukku,” Rara menjelaskan dengan nada kesal.
“Rina sakit?” tanya Shasa prihatin. Rina itu adiknya Rara. Lucu dan imut-imut. Usianya baru dua tahun. Beberapa kali saat menjemput Rara, Rina dibawa serta oleh Ibu Rara. Sebenarnya Rara ikut jemputan tapi terkadang ibunya menjemput ke sekolah.
Rara menganggukkan kepalanya. “Rina sedang flu,” jawabnya pendek.
“Ooo.. pantesan.. yuk aku temani kamu ke kantin,” tawar Shasa.
Sambil berjalan bersisian, mereka berjalan bersama ke kantin yang terletak di samping sekolah.
“Aku sebel.. Rina kalau sedang sakit rewel. Ibu jadi tidak lagi memperhatikan aku,” keluh Rara sambil menuruni tangga. Di sekolah mereka, hanya kelas satu yang terletak di lantai dasar. Sementara kelas dua dan tiga terletak di lantai dua.
“Kamu sih enak, tidak punya adik, tidak punya kakak jadi selalu diperhatikan oleh mama dan papa kamu,” kata Rara lagi.
Shasa tidak menjawab. Ia ikut menemani Rara antri membeli Roti Burger. Setelah itu mereka bergegas kembali ke dalam kelas.
Dari dalam tas tempat membawa bekal, Shasa mengeluarkan sebuah bungkusan.
“Ini buat kamu dan Rina,” kata Shasa sambil menyodorkan bungkusan itu.
“Apaan nih?” tanya Rara dengan suara yang tidak jelas terhalang oleh makanan yang ada di dalam mulutnya.
“Biskuit wafer berlapis coklat,” jawab Shasa. “Kemarin papaku baru pulang dari Batam. Dia membawa beberapa macam biskuit wafer untukku. Terlalu banyak kalau harus kuhabiskan sendiri.”
“Makasih ya, Sha,” kata Rara. “Tuh kan.. Enak kalau tidak punya adik atau kakak. Tidak harus berbagi,” kata Rara lagi.
“Iya memang.. tapi juga tidak ada yang diajak main, tidak ada teman bercanda, tidak ada yang suka menyambut dan menciumi kalau pulang sekolah,” kata Shasa, teringat ulah Rina yang selalu lari keluar setiap kali mendengar mobil jemputan Rara tiba.
Sekarang giliran Rara yang terdiam. Tak ada lagi percakapan. Masing-masing asyik menikmati makanan di jam istirahat pertama itu sampai akhirnya bel masuk berbunyi dan pelajaran pun dilanjutkan.
“Hari ini giliran kamu yang diantar lebih dulu ya?” tanya Shasa sambil membereskan tas dan buku-buku setelah bel tanda berakhirnya jam sekolah berbunyi.
“Iya,” jawab Rara pendek.
“Jangan sampai lupa menyampaikan titipanku buat Rina,” pesan Shasa sambil berjalan keluar kelas.
“Iya,” lagi-lagi Rara menjawab pendek
“Jangan dimakan loh..,” kata Shasa lagi.
“Iyaaaa…” kali ini Rara menjawab dengan gemas. Beberapa siswa yang kebetulan berdekatan dengan mereka berdua saat turun tangga menoleh ke arah mereka dengan pandangan heran.
“Eh, eh, eh.. jangan marah gitu dong..” cekikik Shasa.
“Habis.. dari tadi yang diingat-ingat kok Rina terus..” sambil cemberut Rara berkata.
“Di rumah Ibu lebih memerhatikan Rina, di sekolah kamu ngomongin Rina terus..”
“Habis.. Rina itu lucu banget sih..” kata Shasa. Ia tak dapat menahan tawanya melihat Rara yang cemberut hingga pipinya menggembung. Di ujung tangga langkah mereka terhenti. Seorang anak kecil berdiri di pinggir aula sekolah, sambil melambai-lambaikan tangannya ke arah mereka.
“Rinaaaa…,” panggil Shasa sambil balas melambai dengan semangat.
“Kok malah kamu yang dadah-dadah sama Rina sih? Rina kan manggil aku bukan kamu,” kata Rara heran.
“Biarin,” jawab Shasa sambil berjalan menyongsong Rina. “Kamu kan lagi sebel sama Rina.”
Hanya sebentar saja Rina menyambut uluran tangan Shasa. Selanjutnya ia mengembangkan tangannya dan memeluk Rara yang sudah berjongkok dihadapannya. Dua kecupan pun mendarat di kedua pipi Rara.
“Kakak Shasa dicium juga dong..” kata Shasa.
Rina tersipu dan menggelengkan kepalanya. Tangannya yang kecil mengusap pipi Rara.
“Enak ya, Ra, punya adik..” Shasa berkata sambil tersenyum simpul.
“Iya.. iyaaaaa..” kata Rara sambil kemudian mencium Rina.
“Jadi.. gak sebel lagi kan?” ledek Shasa.
“Uhh.. kamu ini meledek terus,” dengan gemas Rara menggelitik Shasa yang segera lari menghindar. Kalau Rara sudah menggelitik, lebih baik kabuuuurr…

sumber : http://www.ceritaanak.org

Minggu, 15 April 2012

Beda kata Beda Arti

Lafaz aamiin diucapkan didalam dan diluar salat, diluar salat amin diucapkan oleh orang yang mendengar doa orang lain. Aamiin termasuk isi fiil Amr, yaitu isim yang mengandung pekerjaan. Maka para ulama jumhur mengartikannya dengan Allahummas istajib (ya Allah ijabahlah). Makna inilah yang paling kuat dibanding makna-makna lainnya seperti bahwa aamiin adalah salah satu nama dari asma Allah swt.

Membaca aamiin adalah dengan memanjangkan a (alif) dan memanjangkan min, apabila tidak demikian akan menimbulkan arti lain.

Dalam Bahasa Arab, ada empat perbedaan kata “AMIN” yaitu :
  1. ”AMIN” (alif dan mim sama-sama pendek), artinya AMAN, TENTRAM
  2. "AAMIN” (alif panjang & mim pendek), artinya MEMINTA PERLINDUNGAN KEAMANAN
  3. ”AMIIN” (alif pendek & mim panjang), artinya JUJUR TERPERCAYA
  4. “AAMIIN” (alif & mim sama-sama panjang), artinya YA TUHAN, KABULKANLAH DOA KAMI
Arti kesemuanya bermakna baik, tapi benar atau belum pemakaian kata² tersebut?
Supaya apa yang kita lafalkan benar dan sesuai dengan arti yang kita inginkan.
Semoga bermanfaat...

Sabtu, 24 Maret 2012

ILUSTRASI

Di sebuah rumah, tercatat ada seorang ayah, ibu dan 5 anak-anaknya.
Pada suatu hari sang ayah tanpa berunding dengan anak-anaknya menetapkan sebuah peraturan yang secara otomatis ditentang oleh sang anak, dari kelima anaknya ada satu yang menentang paling keras, pertama sang anak melakukan aksi diam, sang ayah cuek.
lalu sang anak pun melakukan aksi mogok makan, sang ayah pun masih cuek, karena sang ayah berfikir klo lapar pasti cari makan.
kemudian karena merasa aksinya tidak ditanggapi serius oleh sang ayah, si anak sering keluar rumah, mulai tak betah diam dirumah, sang ayah mulai berfikir, tapi tetap berkeras sekali peraturan dibuat pantang diubah...
(bersambung...)

Selasa, 13 Maret 2012

Doa Sebelum Tidur

Berdoa Sebelum Tidur

Kamis, 02 Februari 2012

Selasa, 24 Januari 2012

Pelajaran dari seorang penjual es tebu

Tak banyak orang seperti Tubagus Muhammad Ismail. Ketika yang lain sulit mencari kerja, dia malah meninggalkan pekerjaan dengan gaji Rp 10 juta per bulan. Ismail lebih memilih berjualan es tebu keliling dan sales parfum murah.

ROMBONG es tebu itu dikerumuni ibu-ibu muda ketika melintas di kawasan Wage, Sidoarjo. Tawa riang dan canda mereka berbaur dengan suara anak-anak yang berebut membeli. Susana itu hampir terjadi tiap hari pukul 15.00-17.00.

Itulah rutinitas Tubagus Muhammad Ismail menjajakan es tebunya di kawasan tersebut. Pria 39 tahun itu berbeda dari penjual es tebu lain. Penampilannya rapi, bersih, pakaian necis, dan wangi. Dengan tinggi badan sekitar 170 cm, kulit putih, paras tampan, pria berdarah Banten-Sunda-Padang itu jauh dari mainstream penjual es tebu keliling.

Karena itu, tak heran Ismail merupakan tukang tebu favorit -setidaknya- di kawasan Wage. Seorang warga perumahan bahkan menjuluki Ismail sebagai tukang tebu terganteng se-Asia Tenggara.

Ada cerita, pernah seorang ibu yang naik sepeda terjebur got gara-gara meleng melihat Ismail nggenjot rombong tebunya. ''Tapi, saya tak tahu cerita persisnya seperti apa. Saya hanya diberi tahu tetangga saya,'' kata Ismail lalu tersenyum.

Pria ramah itu tak hanya punya nilai lebih dari segi fisik, tapi juga idealisme. Karena idealisme itulah dia memilih mundur dari pekerjaannya sebagai legal staff di sebuah perusahaan rokok besar di Surabaya. Padahal, di tempat tersebut, dia punya gaji cukup besar, Rp 10 juta per bulan.

Sementara hasil jualan es tebu keliling itu, paling banter dia dapat Rp 1,5 juta per bulan. ''Ini pendapat saya pribadi, bukan bermaksud memojokkan siapa-siapa,'' katanya. ''Saya merasa bahwa rokok adalah sesuatu yang mudharat-nya jauh lebih besar daripada manfaatnya. Itulah yang membuat saya bimbang, saya bekerja di industri yang seperti itu,'' lanjut bapak satu anak tersebut. ''Makanya, saya lebih bahagia sekarang, meski pendapatan pas-pasan. Kedamaian hati, itu yang paling penting,'' sambungnya.

Ismail kemudian menuturkan kisahnya. ''Ketika kuliah, saya sudah bekerja di perusahaan advertising, anak perusahaan rokok itu,'' katanya. Itu terjadi pada 1991 saat kuliahnya di Fakultas Hukum Untag memasuki tahap akhir. Setahun kemudian, dia dipindahkan ke induknya, bagian legal department. ''Waktu pindah, saya belum lulus,'' paparnya.

Ismail baru lulus setahun kemudian. Kelulusan itu mendongkrak eselon dan gajinya di perusahaan tersebut. Konditenya selalu baik. Pelan-pelan gajinya naik. Karena tempatnya bekerja merupakan salah satu perusahaan dengan rate gaji tertinggi di Surabaya, Ismail hidup berkecukupan.

Hidupnya mapan, tinggal di rumah tipe 45 di Griyo Wage Asri. ''Hingga saya resign pada 2007, gaji saya Rp 10 juta. Itu belum termasuk bonus dan tunjangan lain,'' kenangnya.

Meski gajinya besar, dia selalu gelisah. Puncaknya terjadi pada 2005. ''Saya merasa industri tempat saya bekerja tidak cocok dengan hati nurani saya,'' tuturnya. Rokok, bagi Ismail, adalah hal paling merugikan dalam kehidupan. Terutama dari sudut pandang imannya.

Ismail memang religius. ''Sejak kecil, orang tua saya selalu menekankan nilai-nilai Islam yang kuat kepada saya,'' paparnya. Ajaran itu terus terbawa hingga sekarang. Karena itu, Ismail selalu berusaha ikut pengajian di mana pun. ''Untuk menambah ilmu,'' tuturnya.

Hampir semua pengajian di Surabaya dan Sidoarjo pernah dia datangi. Bahkan, dia selalu menyempatkan ikut kuliah subuh di TVRI. Tapi, dia mengaku tak ikut sebuah organisasi keagamaan apa pun. ''Saya tak ikut PKS atau apa pun. Saya lebih suka begini saja,'' katanya.

Dalam Islam, rokok dianggap makruh (sesuatu yang sebaiknya ditinggalkan). Bahkan, sebagian ulama menilai haram. ''Itu yang memengaruhi pemikiran saya,'' katanya.

Apalagi, ikhwan-ikhwan (saudara) sepengajian sering mengingatkan dia. Juga mengirim e-mail berisi tulisan dan gambar tentang akibat merokok. ''Ngeri, ngeri, kalau melihat gambarnya. Paru-paru yang hitam membusuk, orang yang kondisinya sekarat, wahh... pokoknya mengerikan,'' tuturnya.

Satu pemikiran mulai menusuk dirinya. ''Masak sih saya memberi makan anak dan istri dengan uang yang dihasilkan dari industri yang merusak masyarakat,'' katanya lalu buru-buru menambahkan bahwa itu pendapatnya pribadi.

Sejak itu, kinerja Ismail melorot drastis. Manajemen perusahaan melihat perubahan tersebut. Manajemen yang bijak mengajak Ismail berbicara dari hati ke hati. Karena memang sudah bimbang, Ismail memutuskan mundur dari perusahaan pada Juni 2007. ''Saya akan merugikan perusahaan bila tidak bisa kerja maksimal. Karena situasinya seperti itu, saya pikir inilah titik untuk hijrah. Saya keluar secara baik-baik,'' urainya.

Atas jasa-jasanya selama 16 tahun bekerja, perusahaan memberi pesangon Rp 400 juta. Selepas dari perusahaan, Ismail melakukan apa saja yang halal untuk menyambung hidup. Di antaranya, menjadi sales parfum tiruan. ''Saya menemukan dunia yang asyik. Ternyata, saya juga punya potensi di bidang marketing,'' katanya dengan mata berbinar.

Untuk menambah penghasilan, Ismail berjualan es tebu. ''Saya bertemu pemilik Mr Tebu dan saya membeli franchise-nya seharga Rp 10 juta. Itu sudah dapat rombong dan peralatannya,'' tuturnya. Dia menggenjot sendiri rombong tersebut.

Perubahan hidup itu membuat Sri Lestari -istri yang kini telah berpisah- kaget. Kata-kata seperti terus kerjo opo, Pa? sering kali terucap. Ketika Ismail memutuskan menggenjot sendiri rombong es tebunya, Sri nyaris tak percaya. ''Sing bener ae, Pa?'' ujar Sri sebagaimana ditirukan Ismail.

Namun, Ismail bergeming. Melihat keteguhan hati suaminya, Sri bisa memahami. ''Apalagi, tetap harus ada penghasilan kan,'' katanya. Ismail tak bersedia mengungkapkan alasan pisah dari istrinya.

Selain parfum dan es tebu, Ismail mencoba jual beli apa saja. Mulai seprai hingga mobil. Namun, hanya eceran. ''Maklum, dana terbatas dan penghasilan harus ditingkatkan,'' ungkapnya.

Dari berjualan parfum, Ismail hanya mendapatkan rata-rata Rp 600 ribu per bulan, sedangkan dari es tebu dapat Rp 700 ribu-Rp 800 ribu. ''Tapi, saya bangga dengan pilihan ini. Meski hanya jadi tukang es tebu dan sales parfum, saya jauh lebih berbahagia daripada saat masih kerja di industri rokok,'' tegasnya.

Tempat Yang Tepat Di datangi Perempuan yang Lagi Galau

Perempuan yang berhati lembut sangat rentan terserang galau. Tempat yang kondusif sangat dibutuhkan untuk menjernihkan pikiran. Inilah 5 tempat yang bisa perempuan datangi ketika kegalauan menyapa.

1. Pantai
Debur ombak dan hembusan angin di pantai terasa menenangkan bagi siapa saja, terutama untuk Anda yang sedang merasa galau. Di tempat ini, Anda bisa menjernihkan pikiran sambil berjemur menikmati semilir angin dengan kelapa muda di tangan. Bermain jet ski, banana boat, snorkeling, atau sekedar jalan-jalan santai juga asyik. Jangan lupa mengajak teman agar jalan-jalan semakin seru.

2. Salon
Nah, inilah tempat yang paling asyik perempuan datangi. Apalagi kalau bukan salon. Di sini, Anda bisa menenangkan pikiran sambil memanjakan diri dengan berbagai perawatan yang ditawarkan. Facial, lulur, spa, dan totok wajah tak boleh ketinggalan untuk mempercantik diri. Keluar salon kecantikan Anda akan meningkat, begitu pula dengan kepercayaan diri. Si galau pun pergi menjauh.

3. Taman Bermain
Menyibukkan diri adalah salah satu cara ampuh mengusir kegalauan. Kalau bingung memilih tempat, datang saja ke taman bermain yang sudah banyak hadir di kota-kota besar. Dufan di Taman Impian Jaya Ancol pasti seru! Nikmati semua wahana menguji adrenalin yang ada di sana. Berteriaklah sepuas mungkin. Ajak juga teman yang banyak supaya seru-seruan semakin asyik.

4. Pertunjukkan seni
Perempuan yang terserang galau biasanya tiba-tiba memiliki jiwa seni yang tinggi. Pertunjukkan seni yang semarak di tahun ini bisa menjadi pilihan yang tepat. Di Parkir Timur Senayan sedang ada pertunjukkan sirkus bertajuk Tarzan d Mighty Circus, yang dijamin seru! Pagelaran seni, seperti konser musik, orchestra, dan pameran lukisan, juga pilihan yang tak kalah seru. Galau hilang, jiwa seni pun meningkat.

5. Bioskop
Bioskop adalah tempat di mana kegalauan itu akan berakhir dengan suksesseiring waktu saat kamu sedang menonton film yang sedang diputar . Tapi film yang kamu tonton janganlah film tentang drama dong.. nanti galau kamu kambuh lagi dong hehe 

Lima Cara Mendeteksi Kebohongan Di Sekitar Kita

Berbohong merupakan salah satu perilaku tak baik yang paling umum dilakukan oleh semua orang. Terkadang, sebagian orang menutupi kebiasaan berbohong itu dengan alasan mereka berbohong putih alias berbohong demi kebaikan.

Dari semua perilaku manusia, mungkin berbohong adalah salah satu yang sulit dideteksi. Namun, ada lima hal yang dapat membantu Anda mendeteksi ketika seseorang berbohong, antara lain:
  1. Gugup. Berbohong memiliki gejala yang hampir sama dengan ketegangan. Dalam berbagai situasi ketika kita berniat untuk berbohong, kita dapat merasa gugup, saat mencoba menutupi kesalahan. Cara mudahnya yaitu mengetahui sifat dasar seseorang kemudian mengetahui peredaannya. Jika seseorang biasanya terlihat santai, kemudian tiba-tiba sering berkedip dan melakukan gerakan mata yang tidak biasa, menjilat lidah dan menyentuh wajah dapat dijadikan ciri-ciri seseorang sedang berbohong.
  2. Perhatikan bahasa tubuh. Amati bahasa tubuh gestur yang tampak menutupi bagian tertentu dari wajah atau tubuh. Menyentuh hidup merupakan ciri khas dari gejala ketegangan. Saat Bill Clinton bersaksi didepan juri mengenai hubungannya dengan Monica Lewinsky, tubuhnya secara alami melakukan bahasa tubuh yang normal ketika menjawab dengan benar. Namun, ketika dia dipaksa lebih jauh mengenai hal itu, dia tampak menyentuh hidungnya setiap empat menit. Totalnya, sekitar 26 kali.
  3. Gelisah berlebihan. Perhatikan jika seseorang yang Anda curigai berbohong, menggaruk atau menggesek pakaiannya. Jika Anda tengah berbohong dan ingin menutupinya, kontrol pandangan Anda dan tempatkan tangan Anda dengan tenang tanpa terlihat tidak alami.
  4. Senyum berlebihan. Disamping dari tampilan menyeringai khas pembohong, studi menemukan orang tersenyum lebih banyak ketika mereka mengatakan yang sebenarnya.
  5. Percaya pada naluri Anda. Seringkali kita bisa mendeteksi seseorang berbohong secara intuisi dibandingkan secara ilmiah. Mungkin benar jika pepatah kuno mengatakan, jika Anda mencurigai seseorang berbohong, mungkin Anda benar.

Tipe Anak Gaul Zaman Sekarang

Ah, siapa yang gak ingin menjadi anak gaul. Mendapat status anak gaul merupakan kebanggaan tersendiri. Bagaimana tidak, setiap kali kamu berjalan, orang-orang di sekitar kamu bakal ngeliatin kamu sambil berbisik-bisik, “eh, itu kan anak gaul”…Eh bener kan? Jadi anak gaul pasti dapet perlakuan seperti itu kan? MBDC memang gak gaul sih, tapi MBDC tau tipe-tipe anak gaul! Berikut adalah 4 tipe anak gaul menurut MBDC!


1. Anak Gaul Generik

Anak gaul generik adalah anak gaul paling standart. Model-model yang kamu temukan di mall-mall gitu deh. Biasanya sih mereka dapet julukan gaul karena mereka adalah anak-anak yang paling populer di SMA/universitas mereka. Sebenernya pergaulannya sendiri belum tentu keluar dari lingkungan SMA/universitas mereka sih, tapi paling gak bentukannya tuh udah gaul abis gitu.
Kalimat Standart: “Eh geelllaa kemaren gue liat baju lucu abesss gheeetooo..”
Musik Favorit: Apapun yang lagi sering diputer di radio.

2. Anak Gaul Hipster

Anak gaul hipster adalah evolusi dari anak gaul generik. Biasanya mereka bermula dari populer di SMA/universitas, tapi kemudian menemukan culture yang dianggap lebih asik kemudian menganggap bahwa menjadi anak gaul generik itu terlalu mainstream. Biasanya anak gaul hipster ini bisa kamu jumpai di butik-butik clothing lokal (yang mahal), tempat-tempat sepeda (yang mahal), festival film, dan tentunya konser band yang kamu gak pernah denger. Mereka suka sesuatu yang kamu gak pernah denger. Kalo kamu sampe suka hal itu, mereka udah gak suka lagi. Kemana aja kamu saat mereka suka itu?
Kalimat Standart: “Eh lo nonton [masukkan nama band yang gak pernah kamu denger di sini] gak? Gue sih dapet invitation.
Musik Favorit: Apapun yang kamu gak pernah denger.

3. Anak Gaul Beneran

Anak gaul beneran adalah seseorang yang beneran gaul dalam arti yang sesungguhnya. Dia kenal buanyaaaaaak banget orang dari berbagai kalangan dan dia sendiri juga dikenal buanyaaaak banget orang dari berbagai kalangan. Kamu bisa minta contact siapapun dari tipe anak gaul yang satu ini. Kalaupun dia gak kenal satu orang, entah bagaimana pasti dia kenal orang lain yang kenal orang ini. Pokoknya bikin minder deh.
Kalimat Standart: “Ibas? Oh gue kenal. Mau nomer teleponnya?”
Musik Favorit: Apa aja sih, mulai dari yang populer sampe yang kamu gak tahu.

4. Anak yang Ngakunya Gaul

Anak yang ngakunya gaul adalah seseorang yang mengaku ke orang-orang kalo dia kenal banyak orang, tapi sebenernya dia gak dikenal siapa-siapa. Jadi mungkin dia pernah kenalan sama orang penting A, tapi kenalannya ya cuma gitu-gitu aja. Gak ngobrol juga. Cuma salaman bukan berarti tuh orang penting bakal inget kamu juga dong?
Kalimat Standart: “Oh gue kenal tuh sama Adrie Subono! Gue pernah kenalan. 5 tahun yang lalu. Iya pas lagi konsernya JAVA gitu. Gue salaman. Foto bareng gitu deh. Tau deh dia masih inget gue apa nggak.”
Musik Favorit: Semua yang keren-keren, tapi pas lagunya diputer gak bisa nyanyi.
Nah begitulah! Kira-kira kamu termasuk anak gaul yang mana nih?

Minggu, 01 Januari 2012

SELAMAT TAHUN BARU 2012

Tahun 2011 telah berakhir, kini saatnya kita memasuki era baru. Tahun 2012 yang penuh dengan tantangan yang lebih berat.